Langit masih biru ketika si pria berjalan dengan mata basah dan pipi merah sembab. Terlihat lusuh dan lesu. Namun raut wajahnya masih dapat memberikan senyum dan tampak tenang. Meski semesta berkata “He wasn’t oke !”. Dia tidak begitu mahir dalam membohongi dirinya bahwa ia sedang bersedih. Tapi kali ini dia dapat membohongi semesta dan berkata “I’m doing fine” dan dia terus berjalan meski lunta. Seperti hendak terjatuh dan terus mencari pegangan.
Sebelumnya.
Dio adalah seorang pria muda dengan beberapa hal potensial yang melekat pada dirinya. Seorang yang ambisius. Dio mencintai seorang wanita yang sangat berbeda denganya. Rasti, wanita yang begitu realistis, kuat, dan kadang bersifat moody. Rasti selalu dapat menyadarkan Dio atas ambisinya yang “Invincible” itu. Rasti berperan sebagai “Quality control” bagi ambisi-ambisi Dio, sehingga dio pun dapat terus bermimpi dan berambisi dengan realistis.
Kisah mereka diawali saat mereka bertemu di bangku kuliah, mereka bertemu disuatu festival yang diadakan di kampus Dio. Saat itu Dio sangat dingin, saat berkenalanpun hanya beberapa patah kata dikeluarkanya, disaat Rasti bertanya, dio hanya berkata seadanya.
Rasti, yang sangat memiliki ketertarikan pada musik saat itu hanya dapat bertanya tentang festival itu pada Dio. Diopun sebenarnya memiliki kapasitas yang baik untuk menjelaskanya pada Rasti. Namun, Dio menganggap Rasti hanyalah wanita yang hanya ingin tahu yang sebenarnya dia sudah tahu, sehingga dia berpikir tidak harus memberitahunya lagi.
Rasti : “Band ini kok sepintas gue denger kaya Keane ya ?”
Dio : “Hah, ya enggalah jauh”
Rasti : “Eh eh engga deh, maksud gue tuh kaya Franz Ferdinand gitu, iya gak sih ?”
Dio : “He euh, lebih kesitu sih, itu tau”
Rasti : “Iya, gw suka franz Ferdinand soalnya, jadi keinget dengerin mereka”
Dio : “Hmm, lo suka Franz Ferdinand ? sama dong, suka sama Franz Ferdinand di album yang mana ?”
Pembicaraan terus berlanjut dan tanpa terasa sudah 4 jam dan acara selesai dan mereka hanya membicarakan Franz Ferdinand, suasana yang cukup hangat dimalam itu.
Dan pembicaraan terus dilanjutkan, mereka jadi sering bersama, mereka bicara soal banyak hal mulai dari Franz Ferdinand, Matt Helder, Inggris. Mereka sepakat dalam segala hal, kecuali tentang sudut pandang mereka tentang hidup.
Mereka sering baku hantam kata jika membahas tentang kehidupan. Mereka memiliki mimpi dan angan yang sama tentang hidup. Namun, Rasti selalu menyanggah pernyataan Dio yang sangat optimis namun terlalu general dan “gak mungkin”. Dio kadang kesal, namun dia butuh 5-10 menit berpikir untuk menyadari bahwa apa yang dikatakan Rasti adalah benar. Dan saat itu Dio sadar, bahwa Rastilah wanita yang selama ini ingin ia temui.
Suatu malam mereka berdua berjalan ke pusat kota sekedar untuk mencari makan malam, mereka menuju alun-alun dan makan sate sambil menikmati keberagaman kegiatan masyarakat kota dimalam hari.
Dio : “Tau gak sih, tempat ini adalah satu-satunya tempat paling jujur yang ada di kota ini”
Rasti : “Hmm, iya jujur banget, semua bebas berekspresi, liat tuh banci, mereka bisa segitu akrabnya sama anak jalanan, sama orang lain tanpa ngasih jarak, coba kalo di tempat yang lain, orang-orang itu sibuk menghindari banci dan membohongi diri karena takut di cap negatif oleh masyarakat karena gaul sama banci.”
Dio : “Hehehe, kritis”
Rasti : “Satenya pedes, hehehe”
Di ujung telepon.
Dio : “Ras, lagi dimana ?”
Rasti : “Di kantor, ada apa ?”
Dio : “Ke pasar festival yu, ada Mocca disana, kalo mau, pulang kerja gue jemput.”
Rasti : “Oh, oke deh, gimana kalo kita ketemu di sana aja, kantor gue kan deket dari sana.”
Dio : “Oke, ketemu di sana jam 7 yah.”
Rasti : “Oke.”
Pasar Festival
Dio : “Hei Ras, udah lama belom, gue kejebak macet.”
Rasti : “Gak kok, gue aja baru datang, udah kelewat satu lagu tuh.”
Dio : “Yaaah, gak apa-apa deh baru satu lagu.”
Kini hampir setiap hari mereka berkomunikasi, mereka sering beraktivitas bersama, diluar jam kerja Rasti dan jam kuliah Dio. Tak disangka orang sedingin Dio dapat begitu hangat pada Rasti. Dio menyadari hal ini, diapun sudah menyadari bahwa inilah waktunya, waktunya untuk hatinya berbicara lebih banyak.
Diujung Telepon.
Rasti : “Halo Dio, nanti malem ada acara ga ?”
Dio : “Eehh, ga ada, kenapa Ras ?”
Rasti : “Bisa jemput gue ga ? gue lembur hari ini, pulangnya malem banget.”
Dio : “Oh iya, bisa kok bisa, sekalian makan malem aja gimana ?”
Rasti : “Oke, nanti dihubungi lagi yah.”
Yap. Kebetulan inilah saatnya Dio untuk menyatakanya. Tidak ada alasan lagi untuk Dio membuang waktu dan membohongi diri bahwa Dio menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar keakraban pertemanan. Dio berharap dapat menemukan kata untuk diucapkan kepada Rasti.
Di warung seafood.
Rasti : “Eh, Dio. Kenapa sih kalo makan seafood pesenya cumi saus padang melulu ? emang ga bosen ?”
Dio : “Ehem, gak lah, seafood yang gue suka ya cuma cumi ini, jadi ya cuma ini yang gue pesen, konserfativ, hehe.”
Rasti : “Yaoloh, hehe.”
Dio : “Mmmmm, kenyang Ras, pedes euy.”
Rasti : "Ho'oh nih, enak tapi.”
Dio : “Ras, kita jalan ke Alun-alun dulu yuk, cari angin.”
Rasti : “Oke, dicari aja yah anginya, jangan dibawa pulang, hehe.”
Sambil berjalan di Alun-alun.
Dio : “Ras ?......”
Rasti : “Kenapa ?”
Dio : “Jhon Lennon itu orang yang prinsipil loh, tapi sifatnya yang sekeras batu karang itu, bisa gampang luluh sama Yoko Ono, dan akhirnya mereka jadi pasangan paling gila yang pernah gue tau.”
Rasti : “Iya, udah tau, lo kan sering cerita itu ke gue, malah kita udah nonton filmnya.”
Dio : “Ohh, emang iya yah ? hehehe.’
Rasti : “Iyaa, Dioooo.”
Dio : “Ada sih yang lo belom tau, dan mesti gue kasih tau.”
Rasti : “Apa tuh ?”
Dio : “I LOVE YOU.”
Rasti : “-------------------“
Dio : “Ada gak sih yang gue belom tau dari lo, Ras ?”
Rasti : “I LOVE YOU TOO.”
Kadang proses yang rumit hanya menghasilkan hasil yang simple, mereka jadian.
Sejak itu tidak ada lagi, keakraban pertemanan diantara mereka. “It’s been left and the wall was breaking”. Mereka jadi lebih intim dalam mendiskusikan sesuatu, lebih terbuka tanpa harus takut salah ucap.
Di Alun-alun.
Rasti : “Film Knowing yang kemarin kita tonton cukup mengharukan ya, deeply touch.”
Dio : “Iya, Nicholas Cage did it perfect.”
Rasti : “Jadi inget papa di rumah, haha”
Dio : “Aku lebih suka Mel Gibson tapi.”
Rasti : “Iya, dia juga keren, jadi inget film The Patriot. Ada adegan saat Mel Gibson bilang gini
–ini adalah Bintang Utara, dia tidak pernah beranjak dari tempatnya, apapun yang terjadi, nelayan sering menjadikanya patokan untuk menentukan arah angin disaat mereka pulang melaut-.”
Dio : “Aku lihat Bintang Utara, di depan mata aku, sekarang. Dan dia juga gak pernah beranjak dari tempatnya. Dia terus menerangi jalan aku disetiap awal yang ingin aku mulai.”
They Kissed.
Dua setengah bulan mereka telah menjalani hubungan pacaran, tanpa ada hambatan yang berarti. Namun Dio lupa sesuatu, dia tidak mengetahui Rasti lebih dalam. Selama ini Rasti hanyalah pendengar yang baik dalam mendengarkan cerita-cerita dio. Rasti bukan pencerita yang ulung.
Rasti adalah orang yang cukup misterius dan Dio tidak menyadari itu, selama ini Dio merasa nyaman karena Rasti selalu mau mendengarkan ceritanya, tanpa berpikir bahwa kadang-kadang dia butuh tau tentang Rasti.
Sebelumnya di warung seafood pinggir jalan.
“It’s cumi saus padang time.” Seru Dio
Dio : “Bang, cumi saus padang satu, cah kangkung satu, kamu apa Ras ?”
Rasti : “Aku mau udang saus tiram.”
Abang seafood : “Maaf mas, cuminya habis, mungkin bisa pesan yang lain ?”
Dio : “Yaaahhh, ayam deh.”
Abang seafood : “Habis juga mas, tinggal udang saja.”
Rasti : “-------------------------------“
Dio : “Yah, kita gak jadi order deh mas, kita cari tempat lain aja deh.”
Abang seafood : “Mmm baik, terima kasih mas.”
Merekapun pergi keluar tempat itu, padahal Rasti sudah sangat lapar dan lelah setelah pulang kerja. Dan Rastipun sudah cukup lelah untuk mencari tempat makan lainya.
Rasti : “Aku lapar tau, aku udah ga kuat nih.”
Dio : “Sabar yah, kita cari tempat seafood yang lain.”
Setelah 30 menit berputar-putar, mereka tidak menemukan warung seafood yang dicari.
Dio : “Yah, ini warung seafood pada kemana yah, kok tumben pada gak ada, kita makan yang lain aja gimana ? (selain seafood).”
Rasti : “Kenapa kita gak balik ke tempat tadi aja ? Kamu kan bisa cari makan di tempat sebelahnya”
Dio : “Ah, gak deh, kita makan sate aja yuk, tuh ada.”
Rasti : “Gak usah deh, anter aku pulang aja, aku makan di rumah aja.” Rasti kesal.
Dio : “------------------------“
Dio mengantar Rasti pulang ke rumah, Rasti tetap kesal, dan mereka sampai.
Dio : “Maafin aku Ras.”
Rasti : “Ya udah kamu pulang aja, jangan tidur malam-malam.”
Setelah itu mereka sedikit merenggang, intensitas komunikasi diantara mereka sedikit berkurang. Dio mulai sibuk karena sudah memasuki masa ujian di kampus, sedangkan Rasti juga sibuk dengan pekerjaanya. Mereka hanya dapat berkomunikasi melalui pesan singkat.
Hingga pada akhirnya semesta bekerja sama mempertemukan kembali Rasti dengan seseorang yang pernah sangat berarti baginya dimasa lalu. Hanya karena sesuatu hal yang menyebabkan mereka harus berpisah. Dia bertemu denga Wira.
Mereka dipertemukan disebuah cafe dimana Rasti sedang melepas lelah sendiri seusai pulang kantor dan menunggu dijemput pulang oleh adiknya, sedangkan Wira sedang menghadiri acara ulang tahun temanya di tempat yang sama.
Wira : “Rasti……kan ?”
Rasti : “Wiraaa, kamu ?” Rasti shock.
Sempat hening.
Wira : “Gimana kabarmu Ras ?”
Rasti : “Aku mimpi gak sih ?................ Kamu tanya seolah semuanya baik-baik aja ya ! Kamu kemana, pergi gitu aja, sekarang udah lama pergi, sekalinnya ketemu seolah gak ada apa-apa."
Wira : “Mmm, sebelumnya maafin aku Ras, waktu itu keadaanya begitu mendadak dan memaksa aku untuk pergi.”
Rasti : “Kan bisa telepon, sms, atau apa gitu.”
Wira adalah pacar Rasti sebelum berpacaran dengan Dio, mereka berpisah tanpa sepatah kata terucap, Wira pergi begitu saja meninggalkan Rasti, sebelumnya mereka berpacaran begitu lama, bahkan yang terlama dari yang pernah mereka alami. Di Café itu Wira bercerita tentang kepergianya, saat itu Wira terpaksa pergi meninggalkan Rasti dikarenakan wira harus menggantikan posisi ayahnya yang bekerja disebuah daerah terluar di Indonesia sebagai konsultan perminyakan, Wira terpaksa menggantikan posisi ayahnya yang sakit keras, Wira juga seorang sarjana perminyakan, dan Wira sebagai anak tertua mau tidak mau harus melanjutkan pekerjaan ayahnya. Dan kini ia telah selesai dan kembali ke kota kelahiranya.
Begitulah cerita bergulir tanpa sadar mereka sudah 3 jam mengobrol. Banyak hal dibicarakan, termasuk mengenang hal-hal indah yang pernah mereka alami semasa dulu.
Pertemuan ini membuat mereka semakin dekat dan hangat kembali, Wira seperti mengisi kekosongan yang sementara ditinggal Dio. Kini Wira dan Rasti sering menghabiskan waktu bersama, Rasti semakin sulit dihubungi oleh Dio, Dio sebentar lagi akan menyelesaikan ujianya.
Sementara itu Wira ternyata masih memendam dan menyimpan perasaanya semua untuk Rasti, Rastipun begitu namun mereka tidak saling menunjukan.
Wira : “Aku masih pake belt yang kamu kasih sampai sekarang, Ras.”
Rasti : “Hah ? kok masih dipake, udah jelek gitu beltnya, udah harus ganti tuh.”
Setengah terkaget, namun Rasti tersenyum.
Wira : “Aku cuma gak mau menghilangkan sedikitpun jejak yang pernah kamu tinggalin Ras, karena kita belum berakhir kan ?
Rasti : “………..”
Wira : “Aku udah selesai Ras, aku gak akan pergi lagi, aku aka ada disini untuk kamu selamanya.”
Ya, walaupun Rasti hanya bisa terdiam, tidak berarti segampang itu, dan sesimple itu, mungkin akan mudah jika saat ini Rasti sedang sendiri, tapi saat ini Rasti milik Dio.
Rasti tidak tahu harus bagaimana, namun dapat diakui Wira adalah sosok yang Rasti inginkan, dan belum ada yang dapat menggantikanya, bahkan Dio sekalipun. Dio sosok seorang lelaki dewasa yang dapat membuat Rasti semangat, dan Wira adalah panutan bagi Rasti. Sedangkan Dio, Dio itu pintar, Dio seorang pencinta yang baik, namun selama berhubungan dengan Dio, Rasti merasa sedang berkompetisi dengan Dio. Dan kadang Dio selalu merasa semua baik-baik saja padahal itu karena Rasti terpaksa selalu mengalah.
Entah apa yang dipikirkan Rasti saat itu, Rasti hanya mengangguk dan itu mengartikan “iya” pada Wira.
Rasti menelepon Dio.
Rasti : “Halo……. Kamu lagi dimana sekarang ?”
Dio : “Eh, aku baru pulang nih akhirnya ujian aku selesai juga.”
Rasti : “Mudah-mudahan hasilnya bagus yah, ketemu yuk besok.”
Dio : “Baru aku mau bilang, ya udah besok kita ketemu yah.”
Seperti biasa, mereka bertemu di alun-alun tempat favorit mereka. Dio banyak bercerita tentang ujianya kepada Rasti. Rasti kurang menanggapi apa yang dibicarakan Dio. Dan malam terlewatkan begitu saja. Dio sedikit merasa aneh dengan sikap Rasti itu. Tapi dia menganggap biasa saja, Dio berpikir itu wajar saja karena mereka cukup lama tidak bertemu.
Suatu hari Dio pergi ke rumah Rasti, Rasti tidak ada di rumah, Dio hanya mengobrol dengan ibunya, Dio terkaget saat ibu Rasti membicarakan soal Wira.
Akhirnya hasil ujian Dio sudah bisa dilihat hasilnya. Bagus, Dio ingin memberikan kejutan pada Rasti. Dio pergi ke rumah Rasti tanpa memberitahukanya terlebih dahulu.
Di malam itu hujan yang turun cukup deras, namun Dio tetap melewati hujan itu. Hasil ujian Dio tetap dilindungi dibalik jaketnya.
Dio sumringah saat itu, dan ketika ia berada di tikungan gang terakhir menuju rumah Rasti yang sudah terlihat. Kejutan untuk Dio, Dio melihat Rasti tapi ia tidak sendiri, ada pria di hadapanya. Mereka saling menatap penuh arti. Pria itu lalu memeluk Rasti dan kemudian mengecup keningnya, Rasti terlihat sangat bahagia dalam tatapanya itu.
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan Dio saat itu, yang diceritakan ibu Rasti ternyata benar. Dio memilih untuk langsung pulang, memendam rasa sakit yang cukup dalam, tiap butir air hujan yang mengenai tubuhnya terasa seperti belati yang seakan menusuk dan sambil menertawainya.
Dio sampai di rumah dengan sangat murung tatapanya begitu kosong ruang kamarnya yang berada di lantai 2 terasa begitu sempit.
Lalu dia membuka pintu kamarnya untuk kemudian setengah tubuhnya dihadapkan terlentang ke beranda luar dan menatap ke langit. Entah mengapa saat itu Dio tidak dapat mengatakan sepatah katapun. Diopun tertidur malam itu.
Ditengah malam dia terbangun, dengan kondisi masih basah kuyup, entah mengapa Dio tidak ingin sama sekali beranjak dari tempatnya berbaring, melamun, murung, melankolis, kosong.
Sementara itu dia kembali pada ingatanya, saat-saat dimana Rasti kembali membangkitkan gairah hidupnya, mewarnai hari-harinya, terlihat saat dimana mereka berjalan di alun-alun kota, bercerita, berburu seafood. Saat dimana Rasti hanya sempat bercerita tentang bintang utara.
Tapi semua seperti sudah berakhir beberapa jam lalu, kadang Dio berpikir, bahwa kebahagiaan dan kesedihan datang dalam waktu yang hampir bersamaan. “Mau gimana lagi” bisik hati Dio.
Mungkin salah Dio yang selama ini selalu melewatkan waktu dimana harusnya Rasti bercerita, yang dia tahu hanyalah Rasti mencintainya dengan filosofi Bintang Utara.
Mungkin bukan saatnya untuk Dio dan Rasti bersama.
Atau mungkin Bintang Utara sudah tidak lagi terlihat.
Dio kembali tertidur.
Di pagi hari, Dio terbangun dia terbangunkan oleh cahaya matahari pagi, pagi yang begitu cerah, hangat, semesta kembali menyapa Dio dari dinginya malam kemarin. sekarang Dio mengerti mengapa banyak orang begitu menantikan pagi, semesta masih punya tempat untuk memberikan kehangatan bagaimanapun keadaan kita, dimanapun kita. Pagi sudah menyadarkan Dio dari malam yang baru saja dilewatinya, Dio dapat mengerti mengapa Rasti memilih untuk pergi, Dio dapat mengerti bahwa dirinyalah yang harus pergi.
Dan Rasti.
Dia tetap menjadi Bintang Utara bagi Dio, dia tetap menunjukan sinarnya pada Dio, dan menunjukan kemana Dio harus pergi, Bintang itu telah menunjukan Dioarah untuk pergi.
Dio Tersenyum.
keren ... nice story .. ditunggu ya cerpen" selanjutnya .. (ampe nangis bacanya) hehee good luck .. rima avianti
BalasHapuskeren banget, gak nyangka lagu finstone - terimakasih bisa kena banget maknanya . huh jd terharu.. ini cerpen favorite penuh inspirasi. sukses selalu guys :)
BalasHapuswuih keren om crita'a ngena bgt ma lgu'e ajibbb. patut dcoba sam musisi lain ni
BalasHapussmoga ini bkan untuk ku .....
BalasHapusterima kasih semuanya.
BalasHapus